Menjadi keren adalah impian smua remaja.
Saya ingat benar bagaimana sebagai seorang remaja tahun 1990-an, saya
merasa harus memiliki sepasang sepatu olahraga keren.
Persoalannya, bulan lalu saya baru saja membeli sepasang sepatu kulit.
Tapi, sepatu olahraga benar benar sedang nge-trend, oleh sebab itu saya datang
untuk merayu papa.
“Saya perlu sedikit uang untuk membeli sepatu olahraga pa”, ujar saya pada suatu petang di
bengkel di mana papaku bekerja sebagai montir.
“Sepatumu kan baru berumur satu bulan, lalu kenapa sekarang kau mau beli sepatu
baru?” ujar papaku.
“tapi papa setiap orang memakai sepatu olahraga yg sdg "in" itu pa” aku mengejarnya
“Boleh saja nak, tapi saat ini papa sdg tak punya uang”
Gaji papa memang kecil dan sering tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami sehari hari.
“Papa, saya tampak seperti org bloon memakai sepatu jenis ini ” kataku sambil
menunjuk kepada sepasang sepatu kulitku baru.
Papa memandang dalam dalam ke mataku.
Kemudian ia menjawab, “Begini saja, Kau pakai sepatu ini satu hari
lagi.Besok, di sekolah, perhatikan semua sepatu dari kawan-kawanmu. Bila
seusai sekolah kau masih berkeyakinan bahwa sepatumu paling butut
dibandingkan sepatu kawan kawanmu, papa akan memotong uang belanja ibumu dan
membelikanmu sepasang sepatu olah raga yg baru”
Dengan gembira saya pergi ke sekolah, keesokan paginya, penuh keyakinan
bahwa hari itu merupakan hari terakhir bagiku memakai sepatu kulit yang
ketinggalan jaman ini.
Saya lakukan apa yang papa perintahkan saya lakukan, namun tidak, saya
ceritakan apa yang saya lihat secara detail.
Sesampai di sekolah kutemui berbagai jenis sepatu: Sepatu coklat, sepatu hitam, sepatu tennis yang sudah kusam, semua menjadi pusat perhatianku.
Dan sore itu, saya memiliki perbendaharaan dalam ingatanku betapa
banyaknya teman teman di sekolah yang juga memakai sepatu bukan sepatu olah raga,
bahkan sepatu - sepatu rusak, berlobang, menganga dan lain lain bentuk yang
sudah mendekati kepunahan sebagai alat pelindung kaki.
Namun banyak juga yang memakai sepatu olah raga yang keren, yang senantiasa
berdetak detik penuh gaya bila si pemiliknya menghentakkannya dengan gagah
perkasa.
Setelah sekolah usai, saya berjalan cepat ke bengkel di mana papa bekerja.
Saya hampir yakin bahwa Senin depan saya juga akan masuk kelompok yang
sedang “in”
Setiap saya menghentakkan tumit saya di jalan, saya membayangkan telah
memakai sepatu olah raga idaman saya.
Bengkel sepi sekali saat itu. Suara yang terdengar hanya denting-denting
metal dari kolong sebuah mobil buatan tahun 1980-an.
Udara berbau oli, namun dalam penciuman saya, asyik sekali.
Hanya seorang langganan sedang menunggu papa yang sedang bergulat di kolong
mobil tua itu.
“Pak Joko” tanya saya kepada langganan yang sedang menunggu, “masih
lamakah?”
“Entah nak, Kau tahu sifat papamu. sekarang ini Ia sedang membongkar persneling, namun
apabila ia mendapatkan adanya bagian lain yang tidak beres, ia akan menyelesaikannya juga.”
Saya bersandar pada mobil abu abu itu.
Apa yang bisa saya lihat hanyalah sepasang kaki papa yang menjulur keluar
dari kolong mobil.
Sambil menjentik jentik lampu belakang mobil, secara tidak sadar saya
menatap kepada kaki papa.
Celana kerjanya berwarna biru tua, kusam dan lengket terkena oli, lusuh
pula.
Sepatunya, berwarna putih tua…. ah ….bukan hitam muda……, dan sungguh
sungguh butut, sebagaimana mestinya sepatu seorang montir.
Sepatu kirinya sudah tidak bersol, dan bagian kanan masih memiliki sepotong
kecil kulit tipis, yang dahulu bernama sol. Di ujungnya, sebaris staples
menggigit kedua belah kulit kencang kencang, mencegah jempol kakinya
mengintip keluar. Tali sepatunya beriap riap, dan sebuah lubang
memperlihatkan sebagian dari jari kelingkingnya yang terbalut kaus katun.
“Sudah pulang nak? “papa keluar dari kolong mobil.
“Ya pa” kataku.
“Kau lakukan apa yang kuperintahkan hari ini?”
“Ya pa”
“Nah, apa jawabmu ?” la memandangku, seolah olah tahu apa yang akan saya
ucapkan.
“Saya tetap ingin sepatu olahraga itu ” Saya berkata tegas, dan berusaha setengah
mati untuk tidak memandang kepada sepatu papa.
“Kalau begitu, terpaksa papa harus potong uang belanja ibumu…..”
“Mengapa kau tidak pergi dan membelinya sekarang?” lalu papa mengeluarkan
selembar 100.000-an. dan lembaran 10.000 lainnya guna membayar
10% pajak penjualannya.
Saya menerima uang itu dan segera berangkat ke pusat pertokoan,
Di depan sebuah etalase, saya berhenti untuk melihat apakah sepatu olahragaku
masih dipajang disana. Ternyata masih! Rp.100.000.
Pada saat itu saya teringat pada papa, sepatu tuanya tampak membayang
melintasi kedua mataku.
Jelas tampak kebututannya, sisinya yang compang camping, paku paku yang
telah mengintip keluar dan sebaris staples yang umumnya dipakai untuk
menjepit kertas.
Sepatu kulit usang yang dipakainya untuk menghidupi keluarganya.
Pada waktu musim hujan seperti ini, sepatu yang sama dipakainya
melintasi jalan jalan yang dingin, menuju kepada mobil mobil yang mogok.
Namun papa tidak pernah mengeluh.
Terpikir olehku, betapa banyaknya benda benda yang seharusnya dibutuhkan
papa, namun tidak dimilikinya, semata mata agar saya mendapatkan apa yang
saya ingini.
Dan kementerengan sepatu olahraga yang ada di balik kaca etelase di hadapanku
mulai memudar.
Apa jadinya bila papa bersikap sepertiku.
Sepatu jenis apa yang saat ini kupakai, bila papaku bersikap seperti saya
bersikap.
Saya masuk ke dalam toko sepatu itu.
Sebuah rak besar terpampang megah, penuh berisikan sepatu olahraga yang sungguh
keren.
Di sampingnya, terdapat sebuah rak lain, dengan sebingkai tulisan “obral
besar. 50% discount”.
Dibawah bingkai itu tergeletak sepatu sepatu semodel sepatu papa, beberapa
generasi lebih muda, tentunya.
Otakku bermain ping pong. Mula mula sepatu papa yang butut.
Dan sekarang sepatu baru. Pikiran tentang: menjadi keren dimata kawan-kawan sekolahku
Dan kemudian pikiran tentang papa,…. telah mengalahkannya.
Saya mengambil sepatu ukuran 42 dari rak yang berdiscount.
Dengan segera berjalan ke arah meja kasir, ditambah pajak, jadilah bilangan
Rp.55.000.
Saya kembali ke bengkel dan meletakkan sepatu baru papa di atas kursi di
mobilnya.
Saya menemukan papa dan mengembalikan uang kembalian yang masih tersisa.
“Saya pikir harganya Rp,100.000″ kata papa.
“Obral” kataku pendek.
Saya mengambil sapu, dan mulai membantu papa membersihkan bengkel.
Pukul lima sore, ia memberi tanda bahwa bengkel harus ditutup dan kami harus
pulang.
Papa mengangkat kotak sepatu ketika kami masuk ke dalam mobilnya.
Ketika ia membuka kotak itu, ia hanya dapat memandang tanpa mengucapkan
sepatah katapun.
Ia memandang kepada sepatu itu lama-lama, kemudian kepadaku.
“Saya pikir kau jadi membeli sepatu olahraga seperti yg kau inginkan”, ujarnya pelan.
“Rencananya semula begitu papa, … tapi …. "Saya tak sanggup meneruskannya.
Bagaimana saya harus menjelaskannya bahwa saya sungguh ingin menjadi
seperti papa?
Dan bila saya tumbuh menjadi dewasa, saya sungguh ingin menjadi seperti
orang baik ini, yang Tuhan berikan kepada saya sebagai papa saya.
Papa meletakkan tangannya pada bahu saya, dan kami saling memandang untuk
waktu sesaat.
Terima kasih Tuhan, karena engkau telah memberiku seorang papa yang baik dan
bertanggung jawab.
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home